OPTIMIS BEKAL AWAL KESEMBUHAN 
Divonis menderita leukemia,  Natarini (22) langsung dibayangi kematian. Akan tetapi, gadis kelahiran  Pandeglang, Banten, ini, kembali bersemangat hidup dan berjuang melawan  penyakitnya. 
Perjuangan tak semudah perkataan. Ikuti pengakuan Natarini. 
Saat  ini aku masih terdaftar sebagai mahasiswa FISIP Universitas Tirta Yasa  di Serang, Banten. Aku merasa fit dan bergairah untuk menyusun skripsi  berjudul Pengaruh Pelayanan Prima Terhadap Derajad Kesehatan Masyarakat.  Aneh ya, kuliahnya di FISIP tapi skripsinya tentang kesehatan. Sengaja  aku menulis hal yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan masyarakat.  Sebab, berkat pelayanan yang primalah aku sembuh dari leukemia.
Ya,  aku memang lama mengidap leukemia. Namun, aku berhasil melawannya  sehingga mendapatkan kesembuhan. Siapa bilang kanker darah atau bahasa  mediknya leukemia, tak bisa disembuhkan? Asal tidak putus asa, mau  berobat sebelum terlambat , Insya Allah, masih bisa disembuhkan. Modal  utama melawan penyakit adalah optimis. Penyakit akan keok begitu kita  mau melawannya.
Memang betul, perjuangan tak semudah perkataan.  Pengalamanku menyatakan, ada masa terseok-seok saat penyakit menyerang  bertubi-tubi. Atau saat kebosanan berobat datang menyergap. Tapi, jangan  menyerah! Baiklah, aku akan mengisahkan penggalan hidup yang mesti  kulalui tanpa menyerah ini.
KEMATIAN MEMBAYANG
Aku telah  melewati masa-masa perjuangan melawan leukemia sejak tahun 1996, ketika  aku masih SMP. Sebelum tahu menderita leukimia, aku lebih dulu sering  sakit-sakitan. Biasanya, aku demam selama satu minggu. Setelah dibawa ke  dokter, aku memang sembuh. Tapi baru tiga hari, demam datang lagi. Kata  dokter cuma pilek, namun kenapa selalu berulang-ulang?
Suatu  hari, aku diajak Mama yang berprofesi sebagai guru, menjenguk muridnya  yang sakit leukemia. Kebetulan murid itu masih saudara jauh kami.  Kondisinya sungguh menyedihkan. Wajahnya begitu pucat dan rambutnya  rontok. Awalnya, dia juga mengalami demam dan cepat lelah seperti aku. 
Entah  karena pernah membesuk muridnya itu atau memang merisaukan penyakitku,  begitu aku demam lagi, Mama cepat-cepat membawaku ke dokter spesialis  penyakit dalam. Kali ini, Pak Dokter menyarankan agar aku cek darah di  Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM). 
Tiba di RSCM aku  langsung cek darah dan diopname. Meski hasil laboratorium baru diketahui  seminggu kemudian, Mama menangis sejadi-jadinya. Mama menebak-nebak dan  khawatir aku terkena leukemia. Seminggu pasca cek darah merupakan masa  awal penderitaan. Rupanya dugaan kuat Mama memang benar. Hasil cek darah  di laboratorium 
menunjukkan aku menderita leukemia.
"Rin,  kamu sakit seperti mereka," kata Mama sembari menunjuk teman-teman satu  bangsal di RSCM. Aku yang masih kecil dan lugu waktu itu, cuma bisa  terdiam. Aku memang berada satu ruangan dengan anak-anak penderita  leukemia. Aku merasa sedih melihat rekan sebayaku yang mukanya pucat  akibat sel darah merahnya dimakan sel darah putih di tubuh sendiri. 
Pelan  tapi pasti, kematian langsung membayang di mataku. Wajah tembem dan  pucat, rambut rontok sampai botak seperti teman-teman sebangsal, akankah  kualami juga? Apakah nasibku akan seperti murid ibuku yang kemudian  meninggal? Aku bergidik takut. "Enggak apa-apa. Bisa sembuh kok. Kamu  belum terlambat berobat," kata dokter Jayadiman yang merawatku.  Ungkapannya memberi cahaya harapan.   
MOGOK MINUM OBAT
Hari  berikutnya terasa suram. Masih kuingat betul, aku diopname pertama kali  tanggal 23 Oktober 1996. Artinya tiga hari kemudian aku berulang tahun  ke-12. Tak ada pesta ulang tahun. Yang ada hanyalah kesakitan. Aku  membayangkan hari-hari ke depanku yang buram dan tak pasti. Namun,  setiap kali terngiang kata-kata Dr. Jayadiman tentang peluang sembuh,  semangatku timbul kembali. 
Itu sebabnya, aku rajin minum obat.  Padahal usai minum obat, biasanya rasa sakit di tubuh seakan malah  menjadi-jadi. Kadang terasa capek yang tak kepalang. Atau sebagian  tubuhku seperti ditusuk-tusuk. Masih ditambah lagi, aku seminggu sekali  dikemoterapi. Bukan main sakitnya usai dikemo yang bertujuan mematikan  sel kanker. Dampaknya adalah rasa mual yang bukan main kuatnya. 
Selama  diopname, aku terus-menerus dikemoterapi. Secara tak sadar aku telah  mematikan rasa sakit di tubuhku. Jadi, setiap kali harus menjalani  pengobatan, aku sudah kebal. Akhirnya, setelah 2,5 bulan dirawat, aku  diizinkan pulang. Selama itu, aku sudah ditransfusi darah sebanyak 56  kantong.
Meski sudah diizinkan pulang, bukan berarti aku sudah  sembuh. Aku masih harus kontrol seminggu sekali. Hidupku masih  bergantung pada obat dan terkadang transfusi darah. Bisa dibayangkan  betapa kerasnya perjuangan Mama mempertahankan hidupku. Betapa tidak?
Seminggu  sekali kami harus ke RSCM. Padahal, kami tinggal di Kampung Pabrik  Pandeglang, tak memiliki alat transportasi pribadi untuk ke Jakarta.  Untuk kepentingan ke RS, kami harus seharian di angkutam umum. Selama di  jalan, sering aku mesti menahan sakit. Kesehatanku memang belum baik  betul.
Aku juga tak pernah lagi bermain bersama teman-teman  sebayaku. Sekian tahun aku melewati hari-hariku di dalam rumah. Begitu  membosankan. Karena bosan pula, sesekali aku mogok minum obat. Tapi Mama  tak pernah jera menyodorkan obat padaku. "Masak kita sudah berjuang  sejauh ini, mau dilepas?" kata Mama menyemangatiku. Dilepas, artinya 
aku berhenti hidup. 
Oh tidak. Aku tak mau menyerah! Aku harus sembuh!!
TESTIMONI DI DEPAN PRESIDEN
Aku  terus rajin minum obat. Sampai akhirnya terdengar kabar bahagia, tahun  1999 dokter di RSCM menyatakan tubuhku bebas dari leukemia. Aku  dinyatakan berhenti minum obat. Horeee aku menang! Hilangnya penyakitku  membuatku bersemangat sekolah lagi. Lulus SMP, aku bergairah masuk SMA.
Kendati  tidak minum obat lagi, dokter bilang, aku harus menunggu masa lima  tahun ke depan untuk dinyatakan benar-benar sembuh. Siapa tahu penyakit  itu datang lagi kalau tak hati-hati menjaga pola makan dan pola hidup  sehat. Maka itu, aku masih harus kontrol ke rumah sakit. 
Penjelasan  itu tak urung sempat membuatku waswas. Aku trauma dirawat inap lagi.  Akhirnya aku memilih menjaga pola makan. Aku benar-benar menjauhi  makanan yang mengandung bahan pengawet dan pewarna. Aku tak mau yang  serba instan. Juga tidak minum es. Makanan-makanan seperti itulah yang  aku konsumsi di masa kecil. Bisa jadi jajanan anak-anak di sekolah yang  tak sehat itu, ikut andil mendatangkan leukimia di 
tubuhku.
Dengan  menjaga pola makan dan hidup yang sehat, hingga sekarang aku tetap  sehat. Kesehatan yang kumiliki juga kutopang dengan aktif ikut latihan  pernapasan di Perguruan Persaudaraan Caliagra Suci, Pandeglang. Betapa  aku sangat bersyukur karena Allah telah menolongku. 
Sekarang,  aku sering sedih bila mendengar orang mengatakan, leukemia atau kanker  pada umumnya, tidak bisa disembuhkan. Lebih sedih lagi, aku pernah  mendengar pernyataan seperti ini, dari salah satu pelayan kesehatan di  daerahku. 
Itu sebabnya, beberapa waktu lalu bersama Yayasan  Onkologi Anak Indonesia (YOAI) dan pemerintah provinsi Banten, aku  mengadakan seminar dan penyuluhan di daerahku itu. Aku selalu bilang,  leukemia bisa sembuh. Atas usaha keras dan rida Allah, nyatanya aku bisa  sembuh, kan? Karena itulah pengalamanku ini dengan senang hati kubagi  kepada siapa pun yang membutuhkan.
Kegiatanku di YOAI awalnya  atas arahan Dr. Jaya yang dulu merawatku. Ceritanya, suatu kali aku  melihat acara interaktif di televisi tentang penderita leukimia. Waktu  itu, anak yang diwawancarai tidak bisa menceritakan secara rinci betapa  sakitnya menderita leukimia. Mungkin karena masih anak-anak, ya. Aku  tergerak ingin menceritakan tapi tak bisa terhubung di siaran interaktif  itu.
Akhirnya tahun lalu aku menemui Dr. Jaya. Beliau begitu  surprise melihat kehadiranku. Beliau nyaris tidak mengenaliku lagi.  Maklum, dulu aku masih mungil, kemudian muncul setelah menjelma menjadi  gadis dewasa. Dokter Jaya menyarankan aku agar bergabung dengan YOAI. Di  sana aku bisa jadi penyuluh untuk masyarakat. 
Benar juga, aku  diterima YOAI dengan baik. Bahkan beberapa waktu lalu aku diajak  testimoni di hadapan presiden. Hampir tiga bulan, aku juga diajak ke  berbagai tempat melakukan penyuluhan. 
Sebagai perempuan normal  dan sudah dewasa, kelak aku juga ingin menikah. Sempat terlintas  kekhawatiran bagaimana dengan keturunanku kelak. Sungguh lega ketika  dokter mengatakan aku boleh menikah kapan saja. "Tak ada yang perlu  dikhawatirkan dengan penyakit yang pernah bersarang di tubuhmu," kata  Dr. Jaya.
Begitulah, di balik kesulitan selalu ada kemudahan .  Tentu selagi kita mau berusaha keras keluar dari kesulitan itu. Allah  pasti akan menolong.
BISA SEMBUH ASAL…
Penyakit leukemia  yang mudah tumbuh pada anak menurut Dr. Pustika Amalia,SpA, 85 persen  berasal dari sel limposit, sisanya yang 15 persen berasal dari  nonlimposit. Leukemia pada anak ini bisa disembuhkan, asal mau berobat  dan rajin kontrol ke dokter bila sudah dinyatakan berhenti dari obat. 
"Pengobatannya  biasanya dilakukan dengan kemoterapi. Bila sampai dua tahun pertama  setelah pengobatan awal dinyatakan bersih dari leukemia, anak itu boleh  berhenti minum obat. Meski demikian, si penderita harus tetap waspada  untuk masa lima tahun ke depan," kata Amalia.
Maksudnya, lanjut  Amalia, enam bulan sekali selama dua tahun, pasien harus periksa tulang  sungsum. "Kemudian tiga tahun berikutnya, setahun sekali kontrol tulang  sungsum. Setelah lepas lima tahun, diusahakan tujuh atau sepuluh tahun  ke depan kontrol lagi."
Kenapa selama lima tahun ke depan harus  patuh kontrol? "Dikhawatirkan ada kemungkinan penyakitnya kambuh lagi  dengan sel yang sama atau sel yang berbeda," kata Amalia seraya  mengatakan, hingga saat ini penyebab leukemia masih terbatas pada  dugaan. "Bisa jadi karena polusi udara, bisa juga dikarenakan makanan  yang mengandung zat pengawet atau pewarna pada makanan yang tidak  semestinya." (Nova)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar